MENYAMBUT BULAN ROMADHON

AUDIO PENENTUAN AWAL BULAN ROMADHON
Ustadz Zainal Abidin
(sumber: http://kajian.net)

Beberapa saat lalu, kami mendapat email dari vbaitullah.or.id bahwa pihak mereka telah mengupload file audio berupa ceramah Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal oleh Ust. Zainal Abidin. Ceramah ini merupakan rekaman dari kajian fiqih yang disiarkan secara langsung oleh Radio Dakta 107 FM pada tanggal 6 Oktober 2004. Mengingat pentingnya dan urgensinya, –karena mendekati Idul Fitri nanti — kamipun mendengarkan dan mencoba untuk menguraikan secara ringkas mengenai isi ceramah tersebut.

Pertama-tama sebagai muqaddimah ust. Zainal menjelaskan tentang memulai Ramadhan dengan metode rukyah dan hisab. Beliau mengajak kembali kepada sejarah keberadaan masing-masing metode . Selanjutnya beliau membawakan perkataan para ulama’ mengenai metode rukyah dan mereka yang telah menyatakan bahwa telah terjadinya ijma’. Kemudian beliau mulai mengupas lebih dalam lagi hal-hal yang mendasari perbedaan metode rukyah dan hisab.

Setelah semua penjelasan di atas jelas, beliau menguatkan metode rukyah. Simak penjelasan beliau ini pada file sesi-2, termasuk argumentasi-argumentasi yang beliau sampaikan untuk menjawab apa yang biasa diutarakan oleh para pengguna metode hisab. Seperti
“kalau pake hisab itu lebih pasti karena terukur dengan ilmunya”,

“kalau tidak mau pake hisab dan harus pake rukyah, mengapa kalau waktu shalat kita pake perhitungan hisab dan jadwal waktu yang sudah ditentukan?”

dan pernyataan-pernyataan lainnya. Kami kira bagian kedua ini merupakan bagian yang sangat penting. Jika anda tidak memiliki banyak waktu namun ingin mengambil maksud dari ceramah ini, atau katakanlah jika anda tidak tertarik sekalipun, kami sarankan agar (setidaknya) anda mendengarkan bagian ini. Durasinya sekitar 22 menit saja.

Pada 2 bagian terakhir merupakan sesi tanya jawab dengan pendengar. Kedua bagian ini cukup bagus karena menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar apa yang telah dibahas.
“Bagaimana jika ada perbedaan waktu padahal sama-sama menggunakan metode rukyah? Manakah yg harus diikuti?”

Dan pertanyaan mengenai metode hisab yang tertinggal,
“Bagaimana jika ‘rukyah hilal’ pada hadits tersebut diartikan sebagai bukan melihat secara langsung, tapi dengan pemikiran atau penilaian (yang dekat dengan pengertian hisab)?”

Akhirnya kami sangat menyarankan kepada anda yang peduli terhadap masalah ini untuk mengetahui secara lebih dalam lagi.
(sumber: http://kajian.net)

Ustadz 'Abdulloh Roy
(sumber:http://salafiyunpad.wordpress.com/)

AUDIO PENENTUAN ROMADHON DAN HARI RAYA
Ustadz Muhammad Arifin Badri
(sumber:http://salafiyunpad.wordpress.com/)

[1]. Menghitung Hari Bulan Sya'ban

Umat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramdhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1081]

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1080]

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari, kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh" [1]

[2]. Baransiapa yang Berpuasa Hari Syak[2], Berarti (ia) Telah Durhaka Kepada
Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam

Oleh karena itu, seorang muslim tidak seyogyanya mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah" [Hadits Riwayat Muslim (573 -Mukhtashar dengan Muallaqnya)]

Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Shillah bin Zyfar dari Ammar membawakan perkataan Ammar bin Yasir.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam" [3]

[3]. Jika Seorang Muslim Telah Melihat Hilal Hendaknya Kaum Muslimin Berpuasa atau Berbuka

Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah" [4]

Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa), dalam suatu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Manusia mencari-cari hilal, maka aku khabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-pun menyuruh manusia berpuasa. [5]

_________
Foote Note.
[1] Hadits Riwayat At-Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 501, Ahmad 4/377, At-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171. Dalam sanadnya ada Musalin bin Sa'id, beliau dhaif sebagaiamana dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid 3/146, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al-Irwaul Ghalil 901, karya Syaikhuna Al-Albany Hafidhahullah
[2] Yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum -ed
[3] Dibawakan oleh Bukhari 4/119, dimaushulkan oleh Abu Daud 3334, Tirmidzi 686, Ibnu Majah 3334, An-Nasa'i 2199 dari jalan Amr bin Qais Al-Mala'i dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni As-Sabi'in mudallis dan dia telah 'an-anah dalam hadits ini, dia juga telah bercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukungnya) dibawakan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Ta'liqu Ta'liq 3/141-142 sehingga beliau menghasankan hadits ini.
[4] Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/133, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni 2/167 dari jalan Husain bin Al-Harist Al-jadal dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sanadnya hasan. Lafadz di atas aadalah pada riwayat An-Nasa'i, Ahmad menambahkan : "Dua orang muslim".
[5] Hadits Riwayat Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423, Al-Baihaqi 4/212 dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya Hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Habir 2/187

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/

==========

HADITS KURAIB TENTANG MASALAH HILAL SHIYAAM (PUASA) RAMADLAN DAN SYAWWAL


Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat



"Artinya : Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu'awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum'at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?
Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum'at".
Ia bertanya lagi : "Engkau melihatnya (sendiri) ?"
Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu'awiyah Puasa".
Ia berkata : "Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) ". Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah (penglihatan) dan puasanya Mu'awiyah ?
Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami".

Pembahasan
Pertama : Hadits ini telah dikeluarkan oleh imam-imam : Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih (dan) Gharib. Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.

Saya berkata : Hadits ini Shahih rawi-rawinya tsiqah :
[1]. Ismail bin Ja'far bin Abi Katsir, seorang rawi yang tsiqah dan tsabit/kuat sebagaimana diterangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya "Taqribut-Tahdzib" (1/68). Rawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain.
[2]. Muhammad bin Abi Harmalah, seorang rawi tsiqah yang dipakai Bukhari dan Muslim dan lain-lain. (Taqribut-Tahdzib 2/153).
[3]. Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas, seorang rawi tsiqah di pakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain (Taqribut-Tahdzib 2/143).

Kedua : Beberapa keterangan hadits
[1]. Perkataan Ibnu Abbas : (tetapi kami melihatnya pada malam sabtu) yakni: Penduduk Madinah melihat hilal Ramadlan pada malam Sabtu sehari sesudah penduduk Syam yang melihatnya pada malam Jum'at.

"Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari", maksudnya : Kami terus berpuasa, tetapi jika terhalang/tertutup dengan awan sehingga tidak memungkinkan kami melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan/sempurnakan bilangan Ramdlan tiga puluh hari, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Apabila kamu melihat hilal (Ramadlan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari".[Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dll.]

"Atau sampai kami melihatnya" yakni : Melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan puasa sampai 29 hari. Karena bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, sebagaimana dapat kita saksikan dalam setahun (12 bulan) selain itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Artinya : Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian : "Yakni penjelasan dari rawi, sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari". (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya)". [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadznya) dan Muslim (3/124) dll.]

Berkata Ibnu Mas'ud :
"Kami puasa bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (No. 2322), Tirmidzi (No. 684) dan Ibnu Khuzaimah (No. 1922).]

Saya berkata : Sanad hadits ini shahih, rawi-rawinya tsiqah dan ada syahidnya dari keterangan Abu Hurairah (Ibnu Majah No. 1658).

[2]. Pertanyaan Kuraib : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah" meskipun penduduk Madinah belum melihat hilal Ramadlan, apakah ru'yah penduduk Syam yang sehari lebih dahulu tidak cukup untuk diturut dan sama-sama berpuasa pada hari Jum'at ?

Kalau pada zaman kita misalnya penduduk Saudi Arabia telah melihat hilal Ramadlan/Syawwal pada malam Jum'at, sedangkan penduduk Indonesia belum melihatnya atau baru akan melihatnya pada malam Sabtu. Apakah ru'yah penduduk Saudi Arabia itu cukup untuk penduduk Indonesia ?

[3]. Jawaban Ibnu Abbas : "Tidak" yakni : Tidak cukup ru'yahnya penduduk Syam bagi penduduk Madinah. Karena masing-masing negeri/daerah yang berjauhan itu ada ru'yahnya sendiri "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami". Keterangan yang tegas ini menolak anggapan orang yang menyangka bahwa ini ijtihad Ibnu Abbas semata.

Dakwaan ini sangat jauh sekali dari kebenaran ! Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ? Demi Allah ! Tidak terbayang sedikitpun juga oleh seorang Ulama bahwa Ibnu Abbas akan berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membohongi ummat !.

Ketiga : Hukum Hadits. Hadits ini mengandung hukum sebagaimana dipahami oleh Ulama-ulama kita

[1]. Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- dalam memberikan bab terhadap hadits ini yang menunjukkan fiqih beliau :

"Dalil tentang wajibnya atas tiap-tiap penduduk negeri puasa Ramadlan karena ru'yah mereka, tidak ru'yah selain (negeri) mereka".

[2]. Imam Tirmidzi bab : "Bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru'yah mereka"

Kemudian setelah meriwayatkan haditsnya - Imam Tirmidzi berkata :

"Dari hadits ini telah diamalkan oleh ahli ilmu : Sesungguhnya bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru'yah mereka (sendiri) ".

[3]. Imam Nasa'i memberikan bab : "Perbedaan penduduk negeri-negeri tentang ru'yah".

Dan lain-lain Ulama lebih lanjut periksalah kitab-kitab :

[a]. Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi.
[b]. Al-Majmu 'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi.
[c]. Ihkaamul Ahkaam Syarah 'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.
[d]. Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah.
[e] Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy.
[f ]. Fathul Baari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar.
[g]. Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani.
[I ]. Subulus Salam (juz 2 hal 150-151)
[j ]. Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd

Dan lain-lain.

Keempat : Menjawab beberapa bantahan dan keraguan.

Mereka yang berpaham apabila telah terlihat hilal (Ramadlan atau Syawwal) di suatu negeri, maka negeri-negeri yang lain meskipun belum melihat wajib mengikuti ru'yah negeri tersebut. Mereka ini membantah faham kami dengan beberapa alasan -meskipun lemah- maka dibawah ini akan kami jawab sanggahan mereka satu persatu Inysa Allahu Ta'ala.

[1]. Mereka meragukan tentang ketsiqahan Kuraib.

Saya jawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Berikanlah keterangan kamu, jika memang kamu orang-orang yang benar".

Kuraib adalah seorang rawi tsiqah sebagaimana telah saya terangkan pada pembahasan pertama di bawah ini :

Kuraib bin Abi Muslim telah di tsiqahkan oleh Imam-Imam besar seperti : Imam Ibnu Ma'in, Nasa'i dan Ibnu Hibban dll. (Baca Tahdzibit Tahdzib 8/433).
Imam Ibnu Sa'ad di kitab besarnya "Thabaqaatul Kubra" (5/293) mengatakan: "Dia seorang yang tsiqah (dan) bagus/baik haditsnya".

Berkata Imam Adz-Dzahabi di kitabnya 'Al-Kaasyif" (3/8 No. 4720). Dan mereka para (para Imam Ahli Hadits) telah mentsiqahkannya. Keterangan Imam Dzahabi ini memberikan faedah : Bahwa Ulama ahli hadits telah ijma' dalam mentsiqahkan Kuraib. Karena Dzahabi dalam keterangannya memakai lafadz jama' watsaquuhu.

Kemudian di kitab "Syiar A'laamin Nubalaa" (4/479) Dzahabi menerangkan :"Kuraib bin Abi Muslim, Al-Imam, Al-Hujjah ....

Imam Ibnu Katsir di kitab sejarah besarnya "Al-Bidaayah wan Nihaayah" (9/186) mengatakan "Dia termasuk (rawi/ulama) tsiqah yang masyhur kebaikan dan keta'atannya dalam beragama".

[2]. Mereka meragukan keshahihan hadits ini disebabkan gharibnya.

Saya jawab -sekali lagi- dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Itulah batas ilmu mereka".

Tentang keghariban hadits ini kami tidak membantahnya. Yakni tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali Ibnu Abbas. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas kepada Kuraib. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Kuraib kecuali Muhammad bin Abi Harmalah. Kemudian tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad kecuali Ismail bin Ja'far. Dari Ismail kebawah sanadnya masyhur karena banyak rawi meriwayatkan dari Ismail diantaranya : Alu bin Hujr As-Sa'dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin As-Sa'dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub dan Qutaibah. Demikianlah sepanjang pemeriksaan kami, Wallahu A'lam !

Apakah Hadits ini tertolak disebabkan kegharibannya ..? Dan apakah setiap hadits itu dla'if/lemah..?

Jawabnya : Kalla tsumma kalla ! Tidak ada yang mengatakan demikian kecuali mereka yang sedikit sekali pengetahuannya tentang ilmu hadits, kalau tidak mau dikatakan tidak faham sama sekali !

Bahkan hadits ini sebagaimana di katakan Tirmidzi : Shahih dan Ghraib : Yakni kegharibannya tidak menghilangkan keshahihan hadits ini. Karena kalau setiap hadits gharib itu dlo'if, niscaya akan tertolak sejumlah hadits-hadits shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Imam Ibnu Katsir :

"Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Baca : Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

Kedudukan hadits ini sama dengan hadits : ”Innamal - a'maalu – binniyaati”.

Yang shahih tetapi gharib, karena hanya diriwayatkan dari jalan : Yahya bin Said Al-Anshary dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimy dari Al-Qamah dari Umar bin Khattab dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian dari Yahya bin Said Al-Anshary sanadnya mutawatir tidak kurang dua ratus rawi yang meriwayatkan dari Yahya.

[3]. Mereka berfaham bahwa keterangan Ibnu Abbas : "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami". Kembali kepada perkataannya : "Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal (Syawwal) ".

Saya jawab : Faham ini tidak benar ! Keterangan Ibnu Abbas dengan menggunakan isim isyarat itu kembali untuk menjawab pertanyaan Kuraib : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah dan puasanya Mu'awiyah .?".
Jawaban Ibnu Abbas : Tidak ! Yakni tidak cukup ru'yah penduduk Syam bagi penduduk Madinah karena masing-masing negeri ini ada ru'yahnya sendiri. Kemudian Ibnu Abbas menegaskan :"Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami".

[4]. Mereka mengatakan : Bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas saja !?.

Kemudian dengan megahnya mereka mengatakan lagi :"Ijtihad kami itu sama dengan ijtihadnya Imam Syaukani di kitabnya "Nailul Authar !?".

Kami jawab : Lebih tepat dikatakan kamu telah bertaqlid dengan taqlid buta, kepada Imam Syaukani yang berfaham bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas (baca : Nailul Authar 4/267-269).

Sekali lagi kami katakan : Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan mengatakan kepada ummat "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami .?"

Adapun Imam Syaukani (semoga Allah merahmatinya) -tidaklah sama dengan kamu walaupun kamu berangan-angan seperti dirinya- ia telah tersalah dalam ijtihadnya (semoga Allah memberikan pahala ijtihadnya). Lebih dari itu Imam Syaukani telah menyalahi ketetapannya sendiri bahkan madzhabnyaJumhur Ulama. Ia berkata di kitab besarnya tentang membahas Ushul Fiqih, yaitu :"Irsyaadul Fuhuul (hal. 60).

"Adapun apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz yang boleh jadi ada perantara antaranya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (Yakni ia tidak mendengar atau melihat secara langsung dari Rasul tetapi dengan perantara shahabat lain yang mendengar dan melihat langsung), seperti ia berkata :

[1] "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam begini".
[2] Atau ia berkata : "Beliau telah memerintahkan begini".
[3] Atau ia berkata : "Beliau telah melarang dari mengerjakan ini"
[4] Atau ia berkata : "Beliau telah memutuskan demikian ".

"Maka Jumhur (ulama) berpendapat bahwa (semua lafadz-lafadz di atas) yang demikian menjadi hujjah. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) shahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal shahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)".

Kemudian Imam Syaukani menerangkang beberapa pendapat bantahan yang menyalahi madzhab Jumhur Ulama. Akhirnya ia menutup dengan bantahan yang sangat bagus sekali untuk menguatkan madzhab Jumhur dan pahamnya :

"Sangatlah jauh sekali (dari kebenaran) yaitu shahabat meriwayatkan dengan lafadz seperti di atas padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, (yang berkata, memerintah, melarang dan memutuskan)" !? Karena sesungguhnya tidak ada hujjah pada perkataan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, baik dimasa hidupnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau sesudah beliau wafat, maka tetap hukumnya marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dengannya ditegakkan hujjah".

Hendaklah para pembaca memperhatikan betul-betul keterangan-keterangan Imam Syaukani di atas tentang lafadz-lafadz yang digunakan shahabat diantaranya "telah memerintahkan". Seperti lafadz yang digunakan Ibnu Abbas dalam hadits yang jadi pembahasan kita yaitu (amaranaa) Lafadz yang demikian menurut Jumhur Ulama -termasuk Imam Syaukani menjadi hujjah dan terhukum marfu'.

Bahkan Imam Syaukani sendiri membantah orang yang menolaknya dengan perkataannya :"Sangat jauh sekali (dari kebenaran) apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz ini padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!".

Tetapi sayang, beliau sendiri telah menyalahi keterangannya dan bantahannya ini di kitabnya "Nailul Authar" sewaktu membahas hadits Ibnu Abbas dengan mengatakan bahwa itu ijtihad Ibnu Abbas !

Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa keterangan Imam Syaukani di kitab Ushul Fiqihnya "Irsyaadul Fuhuul" bersama Jumhurul Ulama itulah haq (yang benar) sebagaimana dikatakan sendiri. Sedangkan fahamnya di "Nailul Authar" tertolak dengan bantahannya sendiri : "Sangat jauh sekali (dari kebenaran) ! Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!"

Sampai disini kami cukupkan jawaban-jawaban kami. Wallahu a’lam bishshawab. [1]

[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke dua, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam- Jakarta Cetakan I - Th 1423H/2002M]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/
DIREKTORI SITUS ISLAM
Kumpulan Situs-situs Islam
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah