WAKTU PUASA

Pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan serta menjima'i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang dari mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas. Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.

"Dahulu sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ?" Isterinya menjawab : "Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu" Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata " Khaibah"[1] untukmu" Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini.

"Artinya : Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima') dengan isteri-isterimu" [Al-Baqarah : 187]

Dan turun pula firman Allah.

"Artinya : Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187] [2]

Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : "Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali" (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (Puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.

[1]. Benang Putih Dan Benang Hitam.
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shalallalahu 'alaihi wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih[3] kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau merka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yan putih dari yang hitam-pent).

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu'anhu berkata : Ketika turun ayat.
"Artinya : Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187]

Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Baliaupun bersabda.

"Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang" [4]

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Ketika turun ayat.

"Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam"

Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : "(Karena) terbitnya fajar" , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]

Setelah penjelasan Qur'ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.

Bagi Allah-lah mutiara penyair.

Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau siang butuh bukti.

[2]. Fajar Ada Dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.

[a]. Fajar Kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.

[b]. Fajar Shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut" [5]

Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :

[a]. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.

[b]. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.

Dari Samurah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang" [Hadits Riwayat Muslim 1094]

Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merah membentang" [6]

Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.

"Artinya : Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar"

Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.

Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima'. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya" [7]

Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.

"Artinya : Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar" [8]

Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : 'Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?' Rasulullah bersabda : "Ya' minumlah" [Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah]

Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath 4/199 : "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta'an".

Kami katakan : Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.

[3]. Menyempurnakan Puasa Hingga Malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.

Dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa" [9]

Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka [10]

Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian kaum : "Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air". Orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore", dalam riwayat lain : matahari). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Turun, ambilkan air". Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, "Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari". Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tanganya) (Dalam riwayat Bukhari- Muslim : berisyarat degan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata : "Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa. [11]

Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. [12]

Peringatan :
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka [13] Wallahu a'alam.

Peringatan Kedua :
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar'i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!

_________
Foote Note.
[1] Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya
[2] Hadits Riwayat Bukhari 4/911
[3] Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422
[4] Hadits Riwayat Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadirs ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari shalat dan puasa, beliau berkata : "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahri makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih....hadits" Al-Fathul 4/132-133 denan perubahan
[5] Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27.
[6] Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!
[7] Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya SHAHIH
[8] Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata : "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah.
[9] Hadits Riwayat Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : "Telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa.
[10] Hadits Riwayat Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.
[11] Hadits Riwayat Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : "Ambilkan segelas air" yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)
[12] Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaiman dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq 3/195
[13] Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab : Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202. Al-Majmu' Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi. Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu Hajar

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/

==========

PUASA BERDASARKAN SATU RU’YAT [PENGLIHATAN]


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah kaum muslimin diseluruh dunia diharuskan berpuasa berdasarkan satu ru’yat ? Dan bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyyah?

Jawaban
Para ahlul ilmi telah berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu jika di suatu negara kaum muslimin telah terlihat hilal, yang mana ru’yat itu telah memenuhi standar syar’iat, apakah kaum muslimin lainnya harus mengikuti hasil ru’yat tersebut ?

Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan, bahwa itu mengharuskan kaum muslimin untuk berpedoman pada hasil ru’yat tersebut. Mereka berdalih dengan keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah”. Mereka mengatakan , “khitab ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh kaum muslimin”.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa yang dimaksudkan itu bukanlah ru’yat setiap orang dengan penglihatannya masing-masing, karena hal itu tidak mungkin. Yang dimaksud itu adalah, bila yang melihatnya itu seorang yang dapat dipercaya penglihatannya tentang masuknya bulan (bergantinya bulan), dan ini bersifat umum di setiap tempat.

Para ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa tempat-tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, sehingga setiap wilayah ada tempat sendiri-sendiri, Jika tempat munculnya hilal itu sama, maka orang-orang yang berada di wilayah tersebut, kendati belum melihatnya, harus mengikuti, jika memang di bagian lain (dalam kawasan yang sama tempat terbitnya) telah terlihat hilal.

Mereka berdalih dengan dalil yang sama, mereka mengatakan : Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sebagaimana diketahui, bahwa yang dimaksud itu bukanlah penglihatan masing-masing orang, tapi cukup dilakukan di tempat yang bisa melihat munculnya hilal. Hal ini berlaku untuk setiap tempat yang masih satu kawasan. Adapun kawasan lain yang tempat munculnya hilal berbeda dengan tempat tersebut, jika memang belum melihatnya, maka tidak harus mengikutinya.

Mereka juga mengatakan : Kami juga mengatakan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) meka bebukalah” [1]

Bahwa orang yang berada di suatu tempat yang tidak sekawasan dengan orang yang telah melihat hilal, maka secara hakikat dan hukum ia belum termasuk yang melihatnya. Lebih jauh mereka mengatakan : Penentuan waktu bulanan adalah seperti halnya penentuan waktu harian, karena negara-negara itu berbeda waktu mulai puasa dan bukanya setiap hari, maka demikian juga dalam penetapan mulai dan berakhirnya bulan. Sebagaimana diketahui, bahwa perbedaan waktu/hari telah disepakati oleh kaum muslimin, di mana orang-orang yang berada di belahan timur bumi lebih dulu berpuasa daripada yang berada di belahan barat, demikian juga, mereka berbuka lebih dulu.

Jika kita memberlakukan perbedaan waktu terbit harian ini, maka untuk penetapan bulan pun sama persis perbedaannya.

Tidak mungkin seseorang mengatakan, bahwa firman Allah.

“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam” [Al-Baqarah : 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Jika malam telah datang dari sini dan siang telah berlalu dari sini, sementara matahari telah terbenam, maka telah berbuka orang yang puasa” [2]

Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ini bersifat umum yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di semua negara.

Kami pun berpedoman pada keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berbukalah” [3]

Pendapat ini, sebagaimana anda lihat, cukup kuat baik secara lafazh, pandangan dan kiyas yang benar, yaitu mengkiaskan penetapan waktu bulanan pada penetapan waktu harian.

Ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa perkaranya di tangan yang berwenang dalam masalah ini. Jika yang berwenang itu berpendapat wajibnya puasa atau berbuka berdasarkan itu yang dilandasi oleh sandaran syar’i, maka ketetapan itu yang berlaku. Hal ini agar orang-orang yang berada di satu wilayah tidak berlainan. Mereka berdalih dengan kumuman hadits.

“Artinya : Hari puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, dan hari berbuka adalah hari dimana kalian semua berbuka” [4]

Ada juga pendapat lain dari para ahlul ilmi seputar perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Kemudian tentang hal kedua yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyahnya ? Mereka disana tidak memungkinkan untuk menetapkan hilal dengan cara syar’i, maka caranya, mereka berusaha untuk melihatnya jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan, maka ketika telah ada ketetapan ru’yat hilal di suatu negara Islam, mereka melaksanakan berdasarkan ru’yat tersebut, baik itu mereka telah melihatnya ataupun belum.

Kalau kita berpijak pada pendapat kedua, yakni masing-masing negara berdiri sendiri jika tempat munculnya hilal berlainan, sementara mereka tidak bisa melakukan ru’yat di negera tempat tinggalnya, maka mereka mengikuti negara Islam yang terdekat, karena cara inilah yang paling memungkinkan untuk mereka lakukan.

[Kitab Ad-Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/152-156)]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1900), Muslim, kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/1081) dari hadits Abu Hurairah.
[2]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1954), Muslim kitab Ash-Shiyam (1100)
[3]. HR Al-Bukhari, kitab Ash-Shiyam (1900), Muslim kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/108) dari hadits Abu Hurairah.
[4]. HR Abu Daud, kitab Ash-Shaum (2344), At-Turmudzi, kitab Ash-Shaum (6/97) dari hadits Abu Hurairah, At-Turmudzi juga meriwayatkan seperti itu (802) dari hadits Aisyah.

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/
DIREKTORI SITUS ISLAM
Kumpulan Situs-situs Islam
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah